Sabtu, 30 Maret 2013

Aya and Vidal de Lakban part 1


Aya and vidal de lakban

Hari ini saya mendapatkan tugas menulis kreatif yang cukup menarik. Bagaimana tidak? Kami diharuskan mencari satu obyek benda mati untuk dinarasikan dan anggap bahwa benda mati itu adalah benda hidup.
            Mulanya saya bingung dengan pilihan obyek apa yang akan saya pilih. Lalu terlintas di pikiran saya untuk mengambil obyek patung kodok yang berada di sebelah barat kampus FIB UGM. Saya segera bergegas menuju ke lokasi, tetapi apa daya, obyek tersebut ternyata telah terlebih dahulu dipilih oleh orang lain.
            Dengan langkah berat saya pergi sembari memikirkan obyek apa yang ingin saya ambil. Di tengah saya berkutat dengan pikiran itu, saya dikejutkan oleh sebuah suara yang berasal dari belakang saya. Sayapun menengok ke kiri, tetapi tidak mendapati sosok pemilik suara. Dengan perasaan bingung saya kembali berjalan. Tetapi, begitu baru berjalan 2 langkah, saya kembali menengok dan ternyata suara itu berasal dari panggung terbuka FIB.
            Dengan perasaan yang aneh dan penarasaran, sayapun mendekati panggung tersebut yang ternyata tidak ada apa-apa yang bisa membuat suara seperti yang saya dengar. Merasa seperti dijahili, saya pun merasa kesal dan akhirnya duduk di tangga panggung. Di saat saya melepas lelah dan kembali berfikir mengenai tugas menulis kreatif, saya kembali dikejutkan dengan suara itu lagi.
            “Sst, mbaknya, kenapa tho sendirian kayak anak ilang?”
            Mendengar suara yang sama itu membuat saya berusaha mencari dari mana sumber suara misterius itu.
            “Cari aku ya mbak? Mau tahu aja atau mau tahu banget?” kata suara itu lagi.
            “Yam au tahu dong, penasaran nih, sudahlah, kamu ada dimana?” sahutku sambil tengak-tengok.
            “Wah mbaknya kepo iih” suara itu menanggapi.
            Mendengar jawaban seperti itu sayapun kesal dan segera beranjak pergi dari tempat menyebalkan ini.
            “Jangan pergi mbak, aku tadi Cuma bercanda, aku ada di panggung kok” kata suara itu.
            Melihat tidak ada kehidupan disana saya kontan bingung.
            “Jangan bercanda deh, di panggung gak ada apa-apa kali”,jawabku kesal
            “Coba mbaknya naik ke panggung dulu”, kata suara itu lagi
            Karena terdorong rasa penasaran, saya pun berdiri di atas panggung tanpa memperdulikan tatapan orang-orang yang mulai menatap ke keanehan ke arahku.
            “Kamu dimana tho? Dari tadi manggil-manggil tapi gak kelihatan, apa jangan-jangan kamu itu hantu ya?”, tanyaku yang mulai ngawur
            “Hahahahahaha, kamu itu ada-ada saja mbak, saya itu bukan hantu, coba mbaknya lihat ke bawah deh, aku mbak injek ni”, kata suara itu lagi.
            Mendengar itu saya langsung terlonjak panik, bagaimana tidak, saya membayangkan menginjak seseorang, atau mungkin menginjak sesuatu.
            “Kamu sebenarnya apaan sih, gak ada apa-apa ni dibawah sini?”, tanyaku kebingungan sambil terus memicitkan mata melihat kebawah.
            “Aku kuning lo, itu yang kamu injek”, kata suara itu lagi.
            Kontan saja saya kaget bukan kepalang, karena suara itu berasal dari lakban yang tertempel di panggung terbuka itu. Kondisi lakban itu cukup memprihatinkan. Warnanya yang dahulu terlihat kuning mengkilat sekarang mulai tercampur dengan warna-warna lain seperti coklat dan hitam dimana-mana. Terkelupas disana-sini membuatnya hampir tidak menyangka kalau lakban itu pernah utuh.
            “Walah, maaf-maaf, aku nggak tahu kalau kamu itu lakban. Sudah lama di panggung ini?”, tanyaku sambil duduk di samping lakban itu.
            “Yah lumayan lah, sudah hampir 6 bulan ini aku tertempel disini. Dan selama itu pulalah aku diabaikan oleh manusia”, kata lakban tersebut
            “6 bulan? Cukup lama juga ya, tapi untuk apa mereka memasangmu disini? Rasanya aneh aja kalau tiba-tiba kamu dipasang disini tanpa alasan yang jelas. Apalagi ini di panggung terbuka, sudah pasti mereka punya maksud tertentu.” Tanyaku cukup panjang.
            “Hahahahaha”, tawa lakban “Ini hanya untuk bermain kok mbak. Main engklek kalau tidak salah. Itu lo permainan tradisional yang cara bermainnya menggunakan gacuk [sejenis alat untuk melempar, bisa berupa koin, pecahan genteng atau sebagainya] terus melangkah dengan 1 kaki mengikuti pola. Saya digunakan oleh para orang-orang itu untuk membuat pola ini” jelas lakban unik itu.
            Setelah saya cermati lebih jauh, memang benar lakban itu membenuk suatu pola kotak-kotak yang tersusun sedemikian rupa, meskipun sedikit kurang jelas karena kondisi lakban yang saya ceritakan tadi.
            “Aku tahu permainan itu, waktu kecil aku juga sering memainkannya, kalau tidak salah kamu itu berbentuk pola gunung bukan? Wah, aku bisa tuh main engklek dengan pola itu, bahkan bisa dibilang aku cukup ahli”, kataku mulai bercerita.
            “Kalau tidak salah, pola itu juga yang aku dengar dari orang-orang yang dulu memasangku. Tapi apa mbaknya gak keberatan untuk mencoba memainkannya lagi? Sudah lamasaya tidak digunakan untuk bermain” pinta lakban
            “Main? Di tempat seperti ini? Enggah ah, aku malu kali kalau main di tempat seperti ini. Lain ceritanya kalau kamu ditempel di tempat lain. Kalau di tempat terbuka seperti ini sepertinya tidak, maafkan aku ya”, tolakku
            “Baiklah, aku mengerti kok, tapi tetap saja rasanya sedih juga ditolak seperti ini”, kata lakban itu dengan sedih.
            “Sudahlah jangan bersedih,” kataku “ Oh iya, tadi kamu panggil-panggil aku ada apa? Serem tahu, aku pikir itu suara hantu”, tanyaku berusaha membelokkan percakapan.
            “Maafkan aku, aku hanya melihat kalau kamu seperti sedang kebingungan, makanya aku manggil-manggil kamu, maaf kalau itu membuat mbak ketakutan, tapi aku nggak bermaksud seperti itu kok”, jelas lakban itu.
            “Ya, tidak apa-apa, lagipula aku tadi sedang memikirkan sesuatu, jadi aku sedikit kaget aja tadi. Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa bicara? Bukankah kamu lakban? Bisa bicara bahasa manusia, bahasa Indonesia pula? Ini mimpi atau apa sih? Aauwww”, tanyaku sambil mecupit pipiku sendiri.
            “Sakit ya mbak? Berarti itu bukan mimpi, aku nyata dan semua hal ini nyata”, kata si lakban itu lagi.
            Sebenarnya saya sendiri kurang mempercayai apa yang saat ini sedang terjadi tapi setelah saya mencoba mencubit pipi dan tangan saya berkali-kali dan terasa sakit maka akhirnya saya mulai mempercayai kenyataan yang aneh ini.
            “Tapi, tapi, bagaimana bisa? Aku bicara dengan lakban? Apa yang sedang terjadi? Apa orang-orang yang lain tidak bisa mendengar kamu? Terus apa…apa yang harus aku lakukan? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?”, kataku sambil memegang kepalaku yang saat ini sedang berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.
            “Sebenarnya semua orang  bisa mendengarku. Tapi saat ini hanya sedikit orang yang memiliki keterbukaan, kelapangan hati dan imiajinasi dan rasa ingin tahu yang tinggi. Tapi akhirnya aku bisa menemukan mbak yang kini sedang berbicara denganku. Sudah selama ini aku berbicara bahkan berteriak-teriak kepada semua orang yang ada disini, tapi tak satupun yang bisa mendengarku. Pernah ada beberapa orang yang mungkin mendengar, tapi mereka tidak cukup ingin tahu untuk mengetahui asal suara itu. Dan baru mbak yang akhirnya mencari dan bertemu denganku”, jelas lakban itu sedangkan aku hanya manggut-manggut saja.
            Selama ini aku hanya mengetahui dan mempercayai bahawa di dunia ini manusia hidup berdampingan dengan alam lain. Kalau saya bertemu dengan hantu saya mungkin masih bisa mencerna itu semua, tapi benda mati yang bisa berbicara? Keadaan ini sungguh membuat saya memeras otak untuk menerima ini semua.
            “Tapi, apa semua sejenismu, maksudku benda-benda mati yang lain, apa semua, emm, itu… bisa bicara semua?”, tanyaku perlahan-lahan
            “Tentu saja bisa, kalau tidak bagaimana bisa aku berbicara dengan mbak? Tapi tidak semua mau berbicara dengan manusia. Kebanyakan dari mereka tetap diam dan tidak mau berinteraksi dengan kalian, manusia. Saking lamanya mereka diam, mereka bahkan menjadi lupa bagaimana caranya berbicara. Hal itu banyak sekali di tempat ini. Mungkin di tempat lain juga sama.” Jelas lakban
            Penjelasan si lakban memang begitu gambling, tapi sangat sullit diterima oleh akal sehat. Teman teman mungkin tidak mempercayai ini. Jika saya cerita kepada teman-teman belum pasti juga mereka akan mempercayai saya. Bahkan bukan tidak mungkin mereka akan menertawai saya. Terus apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya lakukan? Haduhhh….. situasi ini benar-benar mebuat saya bingung.
            “Mbak? Kok diam? Ada apa? Mungkin semua ini memang aneh, tapi kita semua tetap ciptaan Yang Maha Kuasa. Bukankah Tuhan menyuruh kita untuk saling menghormati antar makhluk ciptaanNya? Jadi mengapa kita tidak berteman saja? Walau wujud saya seperti ini saja tidak jahat kok mbak, seperti halnya manusia, saya juga bisa berfikir dan memiliki persaan juga. Jadi jika mbak ada sesuatu yang mengganjal mbak bisa langsung cerita saja”, kata lakban yang membuyarkan lamunanku.
            Menimbang-nimbang apa yang dikatakan si lakban itu memang tidak ada salahnya berteman dengannya, mungkin memang aneh, tapi suasana dan keramahan yang dikeluarkan oleh lakban benra-benar membuat saya nyaman dan asik untuk terus berbicara dengannya.
            “Tentu saja kita bisa berteman. Tapi ada hal ang sedikit menggangu, tidak mungkin aku terus-terusan datang ke tempat seperti ini, orang-orang bisa menganggap aku aneh atu mungkin gila. Lihat, sekarang saja mereka sudah mulai melihat terus kearah ku dengan tatapan yang seperti itu”, sahutku saat melihat keliling yang memang  banyak orang yang memangdang ingin tahu mengapa saya duduk di tengah panggung seperti orang aneh.
            “Soal itu ya, kalau mbak nggak keberatan mbak bisa bawa aku bersama dengan mbak. Itu juga kalau mbak mau. Aku sih berharap bisa terus bersama dengan mbak. Selama ini saya selalu sendirian tanpa teman, kini akhirnya aku bertemu dengan mbak dan rasanya sedih dan kesepian kalau harus berpisah dengan mbak”, kata lakban itu.
            “Tapi bagaiman aku bisa membawamu? Aku tidak mungkin kemana-mana membawa lakban seperti ini. Bukan maksudku untuk menyinggung kamu. Tapi mau bagaimana lagi?”, tanyaku sedikit bingung
            “Kalau memang hanya itu masalahnya mbka, aku tahu solusinya. Mbak punya gunting? Atau cutter? Atau sesuatu yang bisa digunakan untuk memotong?”, Tanya lakban itu.
            “Ada sih, ini aku ada gunting. Buat apa memangnya?” tanyaku sembari mengeluarkan gunting.
            “Sekarang mbak gunting salah satu bagian dariku, pilih yang kira-kira memiliki kondisi yang paling baik diantara kondisiku yang lain”, pinta lakban itu.
            Masih dalam keadaan yang kebingungan dengan apa yang akan dilakukan di lakban, sayapun menurut saja pinta dari lakban itu. Sayapun akhirnya mengambil bagian yang berada di pojok kiri atas yang memang terlihat paling baik diantara kondisi lakban itu yang lain. Dengan berhati-hati saya menarik lakban dari lantai panggung lalu memotongnya. Takut mendengar teriakan lakban karena terpotong yang ternyata tidak terdengar saya melanjutkan proses memotong lakban tersebut. Dan menghasilkan potongan sebesar kotak korek api dari bagian lakban itu.
            “Permisi, lakban, halo?? Sudah saya potong ini, terus diapakan lagi?”, tanyaku kemudian sambil memandangi potongan lakban itu.
            Tidak terdengar adanya jawaban dari lakban tersebut saya kembali memanggil-manggil lakban tersebut.
            “Lakban, kamu nggak kenepa-kenapa kan? Halo? Kamu masih bisa mendengarku? Lakban? Halo? Halo? Hei!!!! Jawab aku dong”, tanpa sadar sayapun berteriak memanggil lakban tersebut.
            “Tu orang kenapa sih teriak-teriak”
“Ada orang aneh tuh”
            “Kenapa sih teriak-teriak di panggung, kuran kerjaan aja”
            Suara-suara iyu terdengar dari orang-orang yang beralu lalang yang heran melihat tingkahku yang saat ini sudah terlihat aneh. Sedangkan aku tidak lagi memperdulikan pandangan orang-orang itu, yang aku pedulikan sekarang Cuma lakban yang diam tak bergerak, tak berbicara, hanya diam seperti benda mati sejenisnya.
            “Jangan-jangan aku telah membunuh lakban itu? Yang benar saja? Lakban itu bahkan benda mati bagaiman bisa aku membunuhnya, tapi dia tidak lagi berbicara apa dia menghilang? Terus apa aku yang mengilangkannya? Apa ini semua salahku? Aku benar-benar jahat! Aku menghilangkan jiwa lakban kesepian itu? Aku sungguh manusia yang jahat!”, gumamku menyesali perbuatanku.
            “Akhirnya aku kembali lagi, maafkan aku telah membuatmu menunggu. Jadi, beginilah aku”, tiba-tiba suara itu terdengar lagi, suara yang dari tadi menemaniku di panggung ini.
            “Dasar, kamu sekarang ada di potongan lakban ini? Kamu benar-benar membautku takut, aku piker aku telah menlenyapkanmu. Aku benar-benar takut tadi”, kataku lega menedengar lakban tetap ada yang kini suara itu terdengar dari potongan lakban yang ada di tangan kiriku.
            “Karena itu aku meminta maaf, tadi aku memindahkan semua jiwaku ke dalam potongan yang kamu gunting tadi, sekarang, lakban yang ada di panggung ini tak bisa apa-apa lagi, jadi kamu bisa kan membawaku dan terus berteman denganku?”, Tanya suara lakban itu.
            “Tentu saja bisa, ngomong-ngomong kita tadi belum berkenalan, siapa namamu? Aku Aya, salam kenal”,  sahutku riang
            “Iya juga ya, oke Aya, aku Vidal itu namaku, salam kenal ya, jadi sekarang kamu mau membawaku pergi dari sini? Sudah 6 bulan aku terus disini dan aku benar-benar bosan dengan keadaan di sini.”, pinta Vidal, lakban kuning itu.
            “Hahahahahaha, baiklah, kalau begitu mulai saat ini kamu akan aku bawa. Bagaimana kalau kau ikut aku ke kelas sekarang, sudah saatnya aku harus kembali ke kelas?”, usulku kepadanya.
            “Baiklah, tentu saja aku mau, asalkan kau mau membawaku dan itu kalau kau tidak keberatan, Ay”, kata Vidal.
            “Bagaimana aku tidak keberatan? Beratmu saja lebih ringan daripada uang logam, tentu saja aku tidak keberatan” sahutku riang sambil pergi dari panggung itu. Kami berdua pun segera menuju ke temen-teman yang sedang berkumpul di bawah MEC.
            “Tunggu, aku masih belum menemukan ide untuk tugas menulis kreatif, aduh bagaimana ini”, kataku panic
            “Aya, aya, dasar kau ini. Jika aku punya tangan aku pasti sudah menjitak kepalamu itu. Lihatlah aku, aku bukannya benda mati? Tulis saja cerita tentang aku. Gampang bukan?”, ucap Vidal
            “Maaf  maaf, aq sudah hampir mengira kalau kau bukan benda mati, benar juga usulmu Vi. Bahkan mereka tidak akan percaya kalau apa yang menjadi obyekku itu benar-benar bisa berbicara. Bisa pingsan mereka semua”, jawabku sambil membawa kami ke bawah MEC, dimana teman-teman sudah pada menunggu di sana.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar