Aya and vidal de lakban
Hari
ini saya mendapatkan tugas menulis kreatif yang cukup menarik. Bagaimana tidak?
Kami diharuskan mencari satu obyek benda mati untuk dinarasikan dan anggap
bahwa benda mati itu adalah benda hidup.
Mulanya saya bingung dengan pilihan
obyek apa yang akan saya pilih. Lalu terlintas di pikiran saya untuk mengambil
obyek patung kodok yang berada di sebelah barat kampus FIB UGM. Saya segera
bergegas menuju ke lokasi, tetapi apa daya, obyek tersebut ternyata telah
terlebih dahulu dipilih oleh orang lain.
Dengan langkah berat saya pergi
sembari memikirkan obyek apa yang ingin saya ambil. Di tengah saya berkutat
dengan pikiran itu, saya dikejutkan oleh sebuah suara yang berasal dari
belakang saya. Sayapun menengok ke kiri, tetapi tidak mendapati sosok pemilik
suara. Dengan perasaan bingung saya kembali berjalan. Tetapi, begitu baru
berjalan 2 langkah, saya kembali menengok dan ternyata suara itu berasal dari
panggung terbuka FIB.
Dengan perasaan yang aneh dan
penarasaran, sayapun mendekati panggung tersebut yang ternyata tidak ada
apa-apa yang bisa membuat suara seperti yang saya dengar. Merasa seperti
dijahili, saya pun merasa kesal dan akhirnya duduk di tangga panggung. Di saat
saya melepas lelah dan kembali berfikir mengenai tugas menulis kreatif, saya
kembali dikejutkan dengan suara itu lagi.
“Sst, mbaknya, kenapa tho sendirian
kayak anak ilang?”
Mendengar suara yang sama itu
membuat saya berusaha mencari dari mana sumber suara misterius itu.
“Cari aku ya mbak? Mau tahu aja atau
mau tahu banget?” kata suara itu lagi.
“Yam au tahu dong, penasaran nih,
sudahlah, kamu ada dimana?” sahutku sambil tengak-tengok.
“Wah mbaknya kepo iih” suara itu
menanggapi.
Mendengar jawaban seperti itu
sayapun kesal dan segera beranjak pergi dari tempat menyebalkan ini.
“Jangan pergi mbak, aku tadi Cuma
bercanda, aku ada di panggung kok” kata suara itu.
Melihat tidak ada kehidupan disana
saya kontan bingung.
“Jangan bercanda deh, di panggung
gak ada apa-apa kali”,jawabku kesal
“Coba mbaknya naik ke panggung
dulu”, kata suara itu lagi
Karena terdorong rasa penasaran,
saya pun berdiri di atas panggung tanpa memperdulikan tatapan orang-orang yang
mulai menatap ke keanehan ke arahku.
“Kamu dimana tho? Dari tadi
manggil-manggil tapi gak kelihatan, apa jangan-jangan kamu itu hantu ya?”,
tanyaku yang mulai ngawur
“Hahahahahaha, kamu itu ada-ada saja
mbak, saya itu bukan hantu, coba mbaknya lihat ke bawah deh, aku mbak injek
ni”, kata suara itu lagi.
Mendengar itu saya langsung
terlonjak panik, bagaimana tidak, saya membayangkan menginjak seseorang, atau
mungkin menginjak sesuatu.
“Kamu sebenarnya apaan sih, gak ada
apa-apa ni dibawah sini?”, tanyaku kebingungan sambil terus memicitkan mata
melihat kebawah.
“Aku kuning lo, itu yang kamu
injek”, kata suara itu lagi.
Kontan saja saya kaget bukan
kepalang, karena suara itu berasal dari lakban yang tertempel di panggung
terbuka itu. Kondisi lakban itu cukup memprihatinkan. Warnanya yang dahulu
terlihat kuning mengkilat sekarang mulai tercampur dengan warna-warna lain
seperti coklat dan hitam dimana-mana. Terkelupas disana-sini membuatnya hampir
tidak menyangka kalau lakban itu pernah utuh.
“Walah, maaf-maaf, aku nggak tahu
kalau kamu itu lakban. Sudah lama di panggung ini?”, tanyaku sambil duduk di
samping lakban itu.
“Yah lumayan lah, sudah hampir 6
bulan ini aku tertempel disini. Dan selama itu pulalah aku diabaikan oleh
manusia”, kata lakban tersebut
“6 bulan? Cukup lama juga ya, tapi
untuk apa mereka memasangmu disini? Rasanya aneh aja kalau tiba-tiba kamu
dipasang disini tanpa alasan yang jelas. Apalagi ini di panggung terbuka, sudah
pasti mereka punya maksud tertentu.” Tanyaku cukup panjang.
“Hahahahaha”, tawa lakban “Ini hanya
untuk bermain kok mbak. Main engklek
kalau tidak salah. Itu lo permainan tradisional yang cara bermainnya
menggunakan gacuk [sejenis alat untuk
melempar, bisa berupa koin, pecahan genteng atau sebagainya] terus melangkah
dengan 1 kaki mengikuti pola. Saya digunakan oleh para orang-orang itu untuk
membuat pola ini” jelas lakban unik itu.
Setelah saya cermati lebih jauh,
memang benar lakban itu membenuk suatu pola kotak-kotak yang tersusun
sedemikian rupa, meskipun sedikit kurang jelas karena kondisi lakban yang saya
ceritakan tadi.
“Aku tahu permainan itu, waktu kecil
aku juga sering memainkannya, kalau tidak salah kamu itu berbentuk pola gunung
bukan? Wah, aku bisa tuh main engklek
dengan pola itu, bahkan bisa dibilang aku cukup ahli”, kataku mulai bercerita.
“Kalau tidak salah, pola itu juga
yang aku dengar dari orang-orang yang dulu memasangku. Tapi apa mbaknya gak
keberatan untuk mencoba memainkannya lagi? Sudah lamasaya tidak digunakan untuk
bermain” pinta lakban
“Main? Di tempat seperti ini? Enggah
ah, aku malu kali kalau main di tempat seperti ini. Lain ceritanya kalau kamu
ditempel di tempat lain. Kalau di tempat terbuka seperti ini sepertinya tidak,
maafkan aku ya”, tolakku
“Baiklah, aku mengerti kok, tapi
tetap saja rasanya sedih juga ditolak seperti ini”, kata lakban itu dengan sedih.
“Sudahlah jangan bersedih,” kataku “
Oh iya, tadi kamu panggil-panggil aku ada apa? Serem tahu, aku pikir itu suara
hantu”, tanyaku berusaha membelokkan percakapan.
“Maafkan aku, aku hanya melihat
kalau kamu seperti sedang kebingungan, makanya aku manggil-manggil kamu, maaf
kalau itu membuat mbak ketakutan, tapi aku nggak bermaksud seperti itu kok”,
jelas lakban itu.
“Ya, tidak apa-apa, lagipula aku
tadi sedang memikirkan sesuatu, jadi aku sedikit kaget aja tadi.
Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa bicara? Bukankah kamu lakban? Bisa bicara
bahasa manusia, bahasa Indonesia pula? Ini mimpi atau apa sih? Aauwww”, tanyaku
sambil mecupit pipiku sendiri.
“Sakit ya mbak? Berarti itu bukan
mimpi, aku nyata dan semua hal ini nyata”, kata si lakban itu lagi.
Sebenarnya saya sendiri kurang
mempercayai apa yang saat ini sedang terjadi tapi setelah saya mencoba mencubit
pipi dan tangan saya berkali-kali dan terasa sakit maka akhirnya saya mulai
mempercayai kenyataan yang aneh ini.
“Tapi, tapi, bagaimana bisa? Aku
bicara dengan lakban? Apa yang sedang terjadi? Apa orang-orang yang lain tidak
bisa mendengar kamu? Terus apa…apa yang harus aku lakukan? Apa yang sebenarnya
terjadi padaku?”, kataku sambil memegang kepalaku yang saat ini sedang berusaha
mencerna apa yang sedang terjadi.
“Sebenarnya semua orang bisa mendengarku. Tapi saat ini hanya sedikit
orang yang memiliki keterbukaan, kelapangan hati dan imiajinasi dan rasa ingin
tahu yang tinggi. Tapi akhirnya aku bisa menemukan mbak yang kini sedang
berbicara denganku. Sudah selama ini aku berbicara bahkan berteriak-teriak
kepada semua orang yang ada disini, tapi tak satupun yang bisa mendengarku.
Pernah ada beberapa orang yang mungkin mendengar, tapi mereka tidak cukup ingin
tahu untuk mengetahui asal suara itu. Dan baru mbak yang akhirnya mencari dan
bertemu denganku”, jelas lakban itu sedangkan aku hanya manggut-manggut saja.
Selama ini aku hanya mengetahui dan
mempercayai bahawa di dunia ini manusia hidup berdampingan dengan alam lain.
Kalau saya bertemu dengan hantu saya mungkin masih bisa mencerna itu semua,
tapi benda mati yang bisa berbicara? Keadaan ini sungguh membuat saya memeras
otak untuk menerima ini semua.
“Tapi, apa semua sejenismu, maksudku
benda-benda mati yang lain, apa semua, emm, itu… bisa bicara semua?”, tanyaku
perlahan-lahan
“Tentu saja bisa, kalau tidak
bagaimana bisa aku berbicara dengan mbak? Tapi tidak semua mau berbicara dengan
manusia. Kebanyakan dari mereka tetap diam dan tidak mau berinteraksi dengan
kalian, manusia. Saking lamanya mereka diam, mereka bahkan menjadi lupa
bagaimana caranya berbicara. Hal itu banyak sekali di tempat ini. Mungkin di
tempat lain juga sama.” Jelas lakban
Penjelasan si lakban memang begitu
gambling, tapi sangat sullit diterima oleh akal sehat. Teman teman mungkin
tidak mempercayai ini. Jika saya cerita kepada teman-teman belum pasti juga
mereka akan mempercayai saya. Bahkan bukan tidak mungkin mereka akan menertawai
saya. Terus apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya lakukan?
Haduhhh….. situasi ini benar-benar mebuat saya bingung.
“Mbak? Kok diam? Ada apa? Mungkin
semua ini memang aneh, tapi kita semua tetap ciptaan Yang Maha Kuasa. Bukankah
Tuhan menyuruh kita untuk saling menghormati antar makhluk ciptaanNya? Jadi
mengapa kita tidak berteman saja? Walau wujud saya seperti ini saja tidak jahat
kok mbak, seperti halnya manusia, saya juga bisa berfikir dan memiliki persaan
juga. Jadi jika mbak ada sesuatu yang mengganjal mbak bisa langsung cerita
saja”, kata lakban yang membuyarkan lamunanku.
Menimbang-nimbang apa yang dikatakan
si lakban itu memang tidak ada salahnya berteman dengannya, mungkin memang
aneh, tapi suasana dan keramahan yang dikeluarkan oleh lakban benra-benar
membuat saya nyaman dan asik untuk terus berbicara dengannya.
“Tentu saja kita bisa berteman. Tapi
ada hal ang sedikit menggangu, tidak mungkin aku terus-terusan datang ke tempat
seperti ini, orang-orang bisa menganggap aku aneh atu mungkin gila. Lihat,
sekarang saja mereka sudah mulai melihat terus kearah ku dengan tatapan yang
seperti itu”, sahutku saat melihat keliling yang memang banyak orang yang memangdang ingin tahu
mengapa saya duduk di tengah panggung seperti orang aneh.
“Soal itu ya, kalau mbak nggak
keberatan mbak bisa bawa aku bersama dengan mbak. Itu juga kalau mbak mau. Aku
sih berharap bisa terus bersama dengan mbak. Selama ini saya selalu sendirian
tanpa teman, kini akhirnya aku bertemu dengan mbak dan rasanya sedih dan
kesepian kalau harus berpisah dengan mbak”, kata lakban itu.
“Tapi bagaiman aku bisa membawamu?
Aku tidak mungkin kemana-mana membawa lakban seperti ini. Bukan maksudku untuk
menyinggung kamu. Tapi mau bagaimana lagi?”, tanyaku sedikit bingung
“Kalau memang hanya itu masalahnya
mbka, aku tahu solusinya. Mbak punya gunting? Atau cutter? Atau sesuatu yang bisa digunakan untuk memotong?”, Tanya
lakban itu.
“Ada sih, ini aku ada gunting. Buat
apa memangnya?” tanyaku sembari mengeluarkan gunting.
“Sekarang mbak gunting salah satu
bagian dariku, pilih yang kira-kira memiliki kondisi yang paling baik diantara
kondisiku yang lain”, pinta lakban itu.
Masih dalam keadaan yang kebingungan
dengan apa yang akan dilakukan di lakban, sayapun menurut saja pinta dari
lakban itu. Sayapun akhirnya mengambil bagian yang berada di pojok kiri atas
yang memang terlihat paling baik diantara kondisi lakban itu yang lain. Dengan
berhati-hati saya menarik lakban dari lantai panggung lalu memotongnya. Takut
mendengar teriakan lakban karena terpotong yang ternyata tidak terdengar saya
melanjutkan proses memotong lakban tersebut. Dan menghasilkan potongan sebesar
kotak korek api dari bagian lakban itu.
“Permisi, lakban, halo?? Sudah saya
potong ini, terus diapakan lagi?”, tanyaku kemudian sambil memandangi potongan
lakban itu.
Tidak terdengar adanya jawaban dari
lakban tersebut saya kembali memanggil-manggil lakban tersebut.
“Lakban, kamu nggak kenepa-kenapa
kan? Halo? Kamu masih bisa mendengarku? Lakban? Halo? Halo? Hei!!!! Jawab aku
dong”, tanpa sadar sayapun berteriak memanggil lakban tersebut.
“Tu orang kenapa sih teriak-teriak”
“Ada
orang aneh tuh”
“Kenapa sih teriak-teriak di
panggung, kuran kerjaan aja”
Suara-suara iyu terdengar dari
orang-orang yang beralu lalang yang heran melihat tingkahku yang saat ini sudah
terlihat aneh. Sedangkan aku tidak lagi memperdulikan pandangan orang-orang
itu, yang aku pedulikan sekarang Cuma lakban yang diam tak bergerak, tak
berbicara, hanya diam seperti benda mati sejenisnya.
“Jangan-jangan aku telah membunuh
lakban itu? Yang benar saja? Lakban itu bahkan benda mati bagaiman bisa aku
membunuhnya, tapi dia tidak lagi berbicara apa dia menghilang? Terus apa aku
yang mengilangkannya? Apa ini semua salahku? Aku benar-benar jahat! Aku
menghilangkan jiwa lakban kesepian itu? Aku sungguh manusia yang jahat!”,
gumamku menyesali perbuatanku.
“Akhirnya aku kembali lagi, maafkan
aku telah membuatmu menunggu. Jadi, beginilah aku”, tiba-tiba suara itu
terdengar lagi, suara yang dari tadi menemaniku di panggung ini.
“Dasar, kamu sekarang ada di
potongan lakban ini? Kamu benar-benar membautku takut, aku piker aku telah
menlenyapkanmu. Aku benar-benar takut tadi”, kataku lega menedengar lakban
tetap ada yang kini suara itu terdengar dari potongan lakban yang ada di tangan
kiriku.
“Karena itu aku meminta maaf, tadi
aku memindahkan semua jiwaku ke dalam potongan yang kamu gunting tadi,
sekarang, lakban yang ada di panggung ini tak bisa apa-apa lagi, jadi kamu bisa
kan membawaku dan terus berteman denganku?”, Tanya suara lakban itu.
“Tentu saja bisa, ngomong-ngomong
kita tadi belum berkenalan, siapa namamu? Aku Aya, salam kenal”, sahutku riang
“Iya juga ya, oke Aya, aku Vidal itu
namaku, salam kenal ya, jadi sekarang kamu mau membawaku pergi dari sini? Sudah
6 bulan aku terus disini dan aku benar-benar bosan dengan keadaan di sini.”,
pinta Vidal, lakban kuning itu.
“Hahahahahaha, baiklah, kalau begitu
mulai saat ini kamu akan aku bawa. Bagaimana kalau kau ikut aku ke kelas
sekarang, sudah saatnya aku harus kembali ke kelas?”, usulku kepadanya.
“Baiklah, tentu saja aku mau,
asalkan kau mau membawaku dan itu kalau kau tidak keberatan, Ay”, kata Vidal.
“Bagaimana aku tidak keberatan?
Beratmu saja lebih ringan daripada uang logam, tentu saja aku tidak keberatan”
sahutku riang sambil pergi dari panggung itu. Kami berdua pun segera menuju ke temen-teman
yang sedang berkumpul di bawah MEC.
“Tunggu, aku masih belum menemukan
ide untuk tugas menulis kreatif, aduh bagaimana ini”, kataku panic
“Aya, aya, dasar kau ini. Jika aku
punya tangan aku pasti sudah menjitak kepalamu itu. Lihatlah aku, aku bukannya
benda mati? Tulis saja cerita tentang aku. Gampang bukan?”, ucap Vidal
“Maaf maaf, aq sudah hampir mengira kalau kau bukan
benda mati, benar juga usulmu Vi. Bahkan mereka tidak akan percaya kalau apa
yang menjadi obyekku itu benar-benar bisa berbicara. Bisa pingsan mereka
semua”, jawabku sambil membawa kami ke bawah MEC, dimana teman-teman sudah pada
menunggu di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar